Seri Latihan Menulis by Monas Junior (1) : Back to Diary
Hari ini sangat melelahkan. Sudah malam kurang tidur, pagi-pagi pukul 08.00, saya harus bangun lalu menemui seorang pejabat di daerah Merangin. Meski mata masih sangat berat untuk dibuka, saya memaksakan kaki untuk melangkah ke kamar mandi. Sebagian kasur telah bercerai dengan seprai putih yang lembut. Seprai di lantai, kasur masih saja di atas, keduanya tak saling tegur.
Di kamar mandi, air panas masih seperti kemarin, sama sekali tak berfungsi sejak hari pertama saya menginap di hotel ini. Jadi, terpaksa mandi air dingin di pagi hari dengan kondisi kurang tidur. Klop sudah penderitaan….
Ini adalah sepenggal catatan harian atau biasa dikenal dengan nama Diary beberapa dekade lalu. Sebelum aplikasi percakapan seperti BBM, Line, Whatsapp, Wechat dan sejenisnya muncul, dan jauh sebelum media sosial seperti Facebook, twitter, skype dan sebagainya booming, orang-orang produk lama sangat mengenal istilah diary ini.
Konsepnya hampir sama dengan status di aplikasi percakapan atau media sosial. Ya, status. Kalau dulu diary ditulis di buku harian -yang modelnya sangat banyak, bahkan ada yang kertasnya beraroma parfum yang wangi-, kini, diary ditulis dalam bentuk status-status. Bedanya paling di bentuk media dan panjang-pendeknya kalimat.
Baca juga : Apple Watch 7 Terbaru dan Fiturnya
Di buku diary, seseorang cenderung menuliskan aktivitas hariannya dengan rentetan kalimat yang panjang. Sedang di status, biasanya singkat-singkat dan padat-padat.
Lihat, semakin tinggi tingkat teknologi komunikasi, semakin dekat seseorang dengan dunia tulis menulis. Mulai dari ponsel cerdas berbasis sistem operasi Android sampai Ios, kesemuanya menyediakan layanan chat atau media sosial yang, kesehariannya diisi dengan aktivitas tulis menulis status.
Bahkan, kini, hampir semua orang lebih banyak menghabiskan waktu dengan ponselnya dengan cara membaca dan menulis status ketimbang bertelepon-telponan. Unik, bukan?
Dalam satu acara, saya diberi waktu untuk memberi materi cara menulis yang praktis. Pembukaan materi, saya menjelaskan bahwa di zaman secanggih ini, hampir semua orang yang memiliki gadget, sudah pasti penulis aktif. Audiens jadi bingung. Lalu saya jelaskan soal hubungan tulis menulis dengan status chat dan media sosial sepeti tulisan saya di atas. Barulah semua pada ngeh…
Lihat, betapa semua orang sudah jadi penulis saat ini. Bedanya cuma panjang pendek tulisan saja. Lainnya sama.
Coba, siapa yang dalam sehari tak pernah membuat status baik di aplikasi chat maupun media sosial? Rasanya sudah sulit ditemukan orang model ini. Biasanya, apapun kegiatan, apapun lonjakan emosi, akan selalu diekspresikan lewat status. Sehingga, aplikasi chating maupun media sosial, kini sudah berubah fungsi menjadi media diary yang paling aktif.
Sehingga, ketika audien ada yang bertanya, bagaimana caranya bisa menulis dengan lancar? Saya menjawab, perbanyak bikin status. Kalau perlu, semenit sekali. Misal: “Baru bangun nih, langsung eek trus mandi (eek=boker=BAB, red. Hehehe...)“, semenit kemudian: “Masih eek, itunya keras, susah keluar. Mana air PDAM belum hidup lagi (semoga yang baca tidak dalam keadaan sarapan, makan siang atau makan malam. Kalau iya, maafkan contoh ini)”. Begitu terus. Asal ada ide, keluarkan, ada ide, lepaskan ke status.
Cuma, saran, jangan menyinggung orang atau pihak lain dalam status yang dibuat, bahaya, ada undang-undang ITE yang mengintai. Asal bikin catatan harian sendiri di status, rasanya aman-aman saja. Kan konsumsi pribadi. Apalagi ketika membuat status, disetting agar yang bisa melihat hanya kita sendiri.
Cara membuat status ini cukup efektif. Apalagi, sesekali, ditulis di note atau aplikasi menulis di gadget masing-masing. Biasakan memperbanyak tulisan dari hari ke hari. Perbanyak ide, perluas penggambaran, lalu bebaskan kreatifitas dalam tulisan-tulisan yang dibuat. Dalam satu minggu, hasilnya akan terasa. Percayalah.
Di Jambi Independent tempat saya bekerja, wartawan baru diwajibkan menulis diary dalam format word. Isi diary dimulai dari bangun tidur, diakhiri ketika pulang kantor dan menjelang tidur. Diary tersebut dikirimkan ke email saya setiap malam. Selama satu minggu, saya bisa melihat betapa berbedanya tulisan si wartawan sejak ia mulai menulis diary hingga minggu pertama diary itu saya terima di email.
Baca juga : Video - Foto - Audio - Teks dan Kegelisahan Media Berbasis Teks
Tulisannya mulai lancar. Struktur kalimat mulai terbentuk. Kerunutan logika mulai terjalin. Selain itu, kreatifitasnya kian terlihat. Di minggu ke dua, perkembangannya luar biasa. Begitu minggu-minggu selanjutnya. Sehingga, ketika mereka telah lancar menulis lewat kebiasaan menulis diary, ketika dimasukkan metode-metode jurnalistik dan cara penulisan berita, mereka jauh lebih gampang menerima ketimbang wartawan baru yang tidak ditugaskan menulis diary. Bagaimana, sudah percaya bahwa diary adalah cara tercepat belajar menulis?
Belum? Baiklah, mari kita analisa. Menulis itu adalah skill atau keahlian. Sama saja dengan menjahit, menyetir mobil atau motor, atau sejenisnya. Untuk bisa menguasai skill ini, kita harus latihan rutin. Lambat laun tetap akan bisa menguasai keahlian ini. Ketika sudah terkuasai, biasanya akan sulit hilang.
Jadi, kalau mau bisa menulis, rajin-rajin lah latihan menulis. Tidak bisa instan. Perlahan tapi pasti, semua bisa menulis dengan lancar. Kejar lancar dulu, baru nanti dilengkapi dengan teori-teori penulisan yang dibutuhkan. Gitu saja.
Yuk, mulai hari ini, biasakan diri menulis diary. Selamat berkarya.(*)