Opini Musri Nauli Jambi : Adab
Musri Nauli |
Suatu hari, ketika saya didatangi seorang tua.. Tergopoh-gopoh menceritakan kasus yang menimpanya. Sembari menangis, dia tidak rela tanahnya dirampas..
“Demi Allah, Bang.. Saya sendiri yang membuka Rimbo ini.. Kapalan tangan Sayo,” katanya geram. Suaranya meninggi. Dia memperlihatkan surat gugatan.
Saya diam. Sembari membaca gugatan, saya tersentak. Bukan gugatan yang menarik perhatian saya, tapi kop surat dan penerima kuasa penggugat.
Setelah menerima surat kuasa, saya bergegas ke rumah kuasa hukum penggugat. Tidak lupa membawa makanan dan buah-buahan.
Sembari memperkenalkan resmi sebagai kuasa hukum tergugat, saya membatasi diri untuk membicarakan kasusnya.
Kasus kemudian bergulir, sidang demi sidang terus berlangsung.
Ketika putusan dibacakan, lagi-lagi saya malam ke rumahnya sambil makan martabak Bangka. Saya sama sekali tidak membicarakan perkara.
Atau kisah yang lain, ketika saya menerima kuasa, saya pun bergegas ke rumah kuasa hukum penggugat, seorang senior yang jam terbangnya mungkin tidak pantas saya sejajarkan.
Istilah Jambi, “saya masih ingusan, dia sudah praktek jadi pengacara”.
Atau kisah lain. Dalam acara seminar di sebuah hotel…
Seorang pembicara berapi-api menerangkan tentang pasal KUHP. Dengan semangat 45, dia berujar, “Pasal ini bertentangan dengan negara Indonesia sebagai negara merdeka”. Atau “pasal ini sudah tidak relevan dengan kondisi zaman sekarang”.
Padahal saya tahu.. Pasal yang disebutkannya sudah dicabut MK. Seluruh argumentasinya sudah dipertimbangkan oleh MK.
Apakah pada saat itu kemudian saya sanggah?
Tidak.
Baca selengkapnya di Jambiseru.com
https://www.jambiseru.com/_/2020/27/10/opini-musri-nauli-adab
Atau dari penulis langsung blog Musri Nauli : musri-nauli.blogspot.com
https://musri-nauli.blogspot.com/2020/10/opini-adab.html