Naik dan Tidak Naik
Foto disalin dari uniknya.com |
Ini persoalan yang sangat berat bagi jurnalis. Jika dia reporter, soal naik tidak naiknya berita di medianya bergantung kepada redaktur (penanggungjawab halaman). Kalau dia redaktur, naik tidaknya berita bergantung kepada korlip, redpel atau bahkan Pimpred. Begitupun Pimpred, naik tidaknya satu berita bergantung kepada manajemen dan ketersediaan pundi-pundi rupiah di kas perusahaan. Termasuk harus jeli memikirkan berpengaruh atau tidak berita itu terhadap pemasang iklan atau mitra perusahaan.
Baca juga di monasjunior.blogspot.com - Monas Junior :
Dongeng Tidur untuk Anak: Putri Cantik dan Kancil Si Raja Ketimun
Sekarang sudah pers industri, Bung. Kenapa haram kalau banyak cara mencari keuntungan yang laik bagi perusahaan. Kenapa tidak boleh menunda, menghaluskan atau bahkan membatalkan penayangan satu berita yang "berbahaya" bagi perusahaan media. Kenapa? Kan tidak ada sangkut pautnya dengan kode etik? Kode etik pers hanya mengatur tata krama penayangan satu berita, bukan penidaktayangan satu berita. Dan, toh belum ada aturan baku soal menidaknaikkan satu berita, atau standar-standar kompetensi satu perusahaan akibat tidak menaikkan satu baru.Ketika mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW) sebulan lalu --ketika itu aku ikut tes kelas Madya (redaktur)-- di Hotel Ibis Mangga Dua Jakarta, aku hanya bisa tersenyum mendengar perdebatan hebat para pimpred yang ngotot menyatakan bahwa seluruh berita dari wartawannya harus dan akan selalu naik kepada tim penguji dari LPDS. Bahkan, banyak yang menyatakan siap mundur jika manajemen meminta mereka menidaknaikkan satu berita, walaupun berita itu bakal berakibat larinya pemasang iklan. Mendengar itu, mataku langsung berurai air. Ironis.
Aku protes, sebagai redaktur yang sehari-hari bergelut dengan redaksi level atas dan level bawah dalam perusahaan, aku sering dihadapkan pada situasi memakan buah simalakama. Naik mati Bapak (perusahaan rugi), tak naik mati Emak (kawan-kawan wartawan yang notabene sudah capek-capek meliput akan kecewa). Lebih sering lagi aku membiarkan "Emak" mati ketimbang "Bapak" yang mati. Hitung-hitung daripada tali aki dicabut, lebih baik menyelamatkan diri seperti sudah selaiknya jurnalis di perusahaan pers industri seperti ini.
Tulisan seperti ini sebenarnya sudah banyak dibuat jurnalis-jurnalis di Indonesia, atau bahkan di dunia manapun, dan makanya, persoalan ini semestinya bukan lagi jadi persoalan. Sudah rahasia umum. Yang jadi persoalan, kenapa tim penguji UKW menuntut para pimpred mengakui kebohongan soal naik tidaknya satu berita di perusahaan yang mereka pimpin dengan jawaban, "semua berita harus naik walaupun mengancam pendapatan perusahaan akibat sponsor tersinggung dengan berita tersebut. Lebih baik mengundurkan diri sebagai pimpred daripada harus diintimidasi oleh manajemen yang menuntut agar berita 'berbahaya' itu tak jadi naik".
Pertanyaan itu merepotkan. Apalagi ketika penguji juga menanyakan perihal yang sama kepada aku dan kettiga rekanku kala itu. "Jika pimpinan kalian minta berita yang ditulis wartawanmu untuk tidak naik, apa sikap kamu?"
Aku sempat tercenung beberapa menit, seperti juga kawan-kawan sepengujian. Kami bingung mau jawab apa. Apalagi kami juga sudah tahu jawaban apa yang diharap si penguji yang berasal dari kantor berita milik negara, yang notabene tak perlu memandang lebih kepada sponsorship bagi medianya karena mereka telah dibiayai negara. Naik atau tidaknya berita, tersinggung atau tidaknya sponsor, toh, bagi lembaga yang dibiaya negara itu tak bakal berpengaruh banyak bagi keberlangsungan perusahaan. Jawaban yang diharap sudah jelas seperti ini, "semua berita harus naik walau apapun resikonya, termasuk diberhentikan dari perusahaan karena tidak menurut perintah pimpinan (yang meminta berita tidak naik demi kepentingan perusahaan dan pemasang iklan) ."
Alhasil setelah lirik-lirikkan, mata kami membuat kesepakatan. Ya, kami harus sedikit berbohong, tapi, juga tak bisa menutup diri untuk sedikit jujur. Jadinya, jawaban kami benar-benar ambigu, tak jelas dan tak tegas. Terkesan buru-buru dengan dalil-dalil alasan bermuatan idealis rekayasa. Hasilnya, nilai kami pada point itu tak memuaskan. Hanya 70 ke atas lebih dikit, tak ada yang mencapai 80.
Geram aku melihat si penguji itu, jujur, sangat marah. Mau saja aku menanyakan balik kepadanya, "kalau kamu, jika negaramu atau pemerintah daerah tempat kantor kalian beroperasi minta satu berita yang menyangkut citra buruk pemerintahan untuk tidak naik, apa sikapmu?" Aku yakin dia akan sebingung kami kala itu. Mau jawab apa dia?
Dari sini, siapa yang salah dan siapa yang benar masih belum jelas. Jika idealisme pers yang dikedepankan dalam materi UKW, tentu tidak ada yang salah pada itu. Tapi, takaran idealisme pers bagi penguji dan materi UKW semestinya juga berdasar konsep pers industri seperti saat ini sedang merajalela. Walaupun, jika saja ini diberlakukan satu saat nanti, mataku akan berair lagi, aku tak peduli. Toh, yang penting kejujuran dan pemakluman. Tapi... benar atau salah, entahlah. Aku menulis ini dalam hati yang gundah gulana akibat kasus yang sama seperti tertuang dalam tulisan ini.